JAKARTA – Muslim Moderate Society (MMC) mencatat sepanjang 2009 hingga 2011 tidak kurang dari 152 kasus kekerasan atas nama agama melibatkan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) brutal. Kekerasan tersebut terjadi secara terorganisir dan sistematis, karena dilakukan dengan perencanaan matang.
Ketua MMC, Zuhaeri Misrawi, menyatakan aksi kekerasan tersebut tidak ditindak tegas, karena hanya menyeret individu-individu yang terlibat dalam penyerangan. Sedangkan Ormas brutal yang terlibat didalamnya tidak ditindak tegas. "Faktanya ormas tersebut masih tetap beraktifitas. Ini memprihatinkan," papar Zuhaeri, saat dihubungi, Senin (7/11).
Zuhaeri menyatakan masih ada data-data kekerasan yang melibatkan ormas dalam jumlah yang lebih besar. Setara Institute mencatat lebih dari 300 kekerasan atas nama agama terjadi. Lagi-lagi, kekerasan tersebut terjadi karena digerakkan ormas.
Menurut Zuhaeri, negara bersikap "memble" menyikapi ormas brutal, bahkan alpa dalam menindak ormas seperti itu. "Yang harus ditindak bukan hanya individu, tetapi juga ormas, karena dilakukan secara terorganisir," jelasnya.
Ia mencontohkan kasus penyerangan massa Ahmadiyah yang terjadi di Cikeusik, Pandeglang, Banten. Sebelum terjadi peristiwa berdarah itu, sudah ada pesan singkat yang disebarkan oknum tak bertanggungjawab kepada massa.
Hal ini kemudian memancing massa untuk berdatangan dan bertindak provokatif di lapangan. "Sampai saat ini, ormas yang terlibat dalam bentrokan itu tidak ditindak tegas," sesalnya.
Anggota Pansus RUU Ormas, Muslim, menyatakan RUU Ormas ini jika disahkan, akan menindak ormas apa pun yang terlibat dalam kerusuhan jika terbukti secara sistematis merencanakan penyerangan. "Itu semua sudah tertulis dalam draft RUU," papar politisi Demokrat ini.
Dia menyatakan RUU tersebut akan menjawab kegelisahan masyarakat selama ini. Sekaligus membuktikan negara tidak boleh alpa untuk menindak kekerasan yang dilakukan atas nama agama.
Menurut Muslim, negara tidak boleh membiarkan kelompok massa yang tergabung dalam ormas untuk merusak fasilitas publik, atau menyerang tempat-tempat usaha seenaknya. Sebab, ormas bukanlah penegak hukum.
Wakil Sekjen FPI, Awid Masyhuri, menolak jika ormas dianggap perusuh sehingga dituding terlibat dalam aksi kekerasan atas nama agama. Dia mengatakan pasal yang menerangkan tentang pembubaran ormas tidak menjelaskan secara detail terkait kerusuhan atau bentrokan yang terjadi.
Dia mencontohkan, FPI memprotes pendirian rumah ibadah agama tertentu yang dianggap tidak berizin. Karena tidak terjadi kesepakatan, akhirnya terjadilah bentrokan. "Bentrokan itu tidak direncanakan, karena terjadi dengan sendirinya," kata Awid.
Lagi pula, lanjut dia, bentrokan atau kerusuhan itu terjadi untuk menjunjung tinggi kebenaran, karena penegak hukum alpa. "Ormas terpaksa mengambil tindakan. Aksi seperti itu janganlah dikatakan sebagai brutal dan melanggar hukum, karena memiliki motif untuk menjunjung tinggi kebenaran," tegasnya.
0 komentar:
Post a Comment